KET : Tulisan ini telah terbit di Harian Radar Tanjab
Juli 2008 / Rubrik Berita Bok / Halaman 1
====================================
Juli 2008 / Rubrik Berita Bok / Halaman 1
====================================
Seorang
anak SD setiap hari sepulang sekolah mencari uang dengan menyemir sepatu di
bandara. Uangnya untuk belanja keluarga, sebagian disimpan untuk beli semir dan
biaya sekolah. Cita –cita sang bocah ingin menjadi tentara. Berikut Catatan Radar Tanjab.
RIZAL
EPENDI – KOTA JAMBI
Deru
suara pesawat terbang milik Maskapai Penerbangan Lion Air yang akan mendarat
semakin menambah kebisingan suasana di Kawasan Bandar Udara (Bandara) Sulthan
Thaha Syaifuddin Jambi pagi itu. Pepohonan di sekitar lapangan beraspal hitam, terhuyung diterpa angin kencang mesin pesawat terbang. Rumput, ilalang bergoyang,
debu-debu dan sampah plastik berterbangan.
Seorang
petugas berpakaian seragam bandara bergegas menuju lapangan pacu untuk
memberikan aba – aba dengan bahasa isarat kepada coppilot serta menentukan posisi parkir pesawat. Secara
bersamaan dua buah mobil penggandeng tangga mendekat ke pintu pesawat. Pintu terbuka
dan seluruh penumpang dari Jakarta bergegas turun.
Sementara
di ruang tunggu para penumpang yang akan berangkat ke Jakarta bersiap-siap dan berjalan perlahan menaiki tangga pesawat.
Setalah semua perhelatan siap, pesawat-pun terbang kembali ke Jakarta. Itulah sekelumit aktivitas di Bandara Sulthan Thaha
Syaifuddin Jambi setiap hari.
Namun
dibalik kesibukan aktivitas di kawasan bandara itu, terselubung sepenggal kisah
nyata tentang kehidupan seorang anak manusia yang memiliki harapan untuk
merajut masa depan dalam kondisi ketiadaan. Dia bekerja keras tanpa lelah, gengsi apalagi. Dia menyandarkan harapan dan
cita melalui belas asih para dermawan butuh jasanya.
Sedihnya,
kisah ini dilakoni oleh seorang siswa SD yang belum cukup umur. Bagi sebagian
masyarakat Jambi, aktivitas dan kisah terselubung di Bandara tersebut dijadikan
tempat berwisata. Datang dan pergi
sebuah pesawat terbang merupakan objek tontonan yang bisa memberikan
hiburan tersendiri. Ditambah lagi dengan nyanyian dan tarian anak jalanan, gelandangan
dan pengemis semakin membuat Kota
Beradat laksana Metropolitan.
Namun
tidak demikian bagi Muhammad Regi, 10 tahun, siswa kelas IV SD Negeri No 173
Kota Jambi ini. Bocah cilik yang
berprofesi sebagai tukang semir sepatu di seputaran kawasan Bandara tersebut
sudah terbiasa dengan deru suara pesawat dan kesibukan aktivitas di sana. Dia malah
berfikir jernih (terlepas dari kondisi yang memaksa) dengan memanfaatkan
keramaian di sana sebagai ajang untuk mengais rejeki.
Mengenai
sepenggal kisah terselubung tadi Muhammad Regi tahu persis dari awal sampai
akhir ceritanya. Bahkan dia sangat peduli karena dirinya dalam cerita “dongeng anak
jalanan penghantar tidur” itu berlakon sebagai pemeran utama sekaligus
produser. Bahkan dia pulalah yang menuliskan naskah cerita getir tersebut di
atas selembar garis nasib dengan tinta
warna merah dalam hidupnya.
Sembari
melakoni kisah itu bocah yang tinggal di Lorong Kuburan, Kelurahan Puncak,
Kecamatan Jelutung, Kota Jambi ini menawarkan “dagangannya”. Memang bukan
barang antik atau suvenir yang ditawarkan kepada para penumpang pesawat. Tapi tak lebih
dari sebuah jasa semir sepatu yang dirinya hanya memungut upah capek sebesar
dua ribu rupiah per pasang sepatu kulit.
Anak
ke empat dari lima bersaudara pasangan Amri dan Ela ini mengaku baru lima bulan menjajakan jasa semir sepatunya di kawasan bandara
tersebut. Pekerjaan itu dilakoninya sepulang sekolah yakni pada pukul 13.00 hingga
16.00 WIB. Sebelum di bandara dia pernah menyemir di Kelurahan Simpang Kawat dan
kawasan Pasar Rawasari.
Dalam
setiap hari bocah berperawakan kurus ini dapat mengantongi rupiah 10 hingga 20
ribu. Setelah pulang ke rumah uang tersebut sebagian diberikan kepada ibunya untuk
menambah uang belanja, sebagian lagi ditabung untuk modal beli semir dan biaya
sekolah. Sedangkan ayahnya hanya bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi
kelima anaknya.
Ketiga
kakak tukang semir sepatu ini, Muhammad
Rizal, Rina dan Yuyun belum bekerja, walapun ada hanya pekerjaan serabutan yang
hasilnya tak seberapa. Sedangkan si bungsu,
Risa masih kecil dan belum sekolah. Untung saja Regi sekeluarga tidak lagi menempati rumah kontrakan, walaupun
kondisi tempat tinggalnya saat ini sangat sederhana.
Menjadi
Tentara
Sembari
menggosokan sikat semir pada sepasang sepatu kulit pelanggannya, Regi banyak bercerita tentang kehidupan yang dijalaninya.
Dia punya rencana setelah lulus SD, akan melanjutkan sekolah sampai mendapat
ijazah SMA. Setelah itu dia akan
mengikuti tes penerimaan siswa calon bintara TNI.
Regi
memang punya cita-cita ingin menjadi tentara, bahkan cita-cita itu telah dia
tanamkan dalam hati sejak dibangku SD.
Dia mengaku berminat menjadi tentara
karena tentara dapat melindungi negara dari berbagai ancaman. Selain itu
memang kalau salah satu anggota keluarga ada yang jadi tentara, menurutnya
dihormati dan disegani masyarakat.
Tapi
dia takut kalau cita-citanya kandas, karena untuk melanjutkan sekolah saja
orang tuanya tidak punya cukup uang, apalagi sampai mengikuti tes bintara. Setelah bicara seperti itu dia menerawang
sejenak, kemudian melepaskan
pandangannya ke arah sederetan kendaraan roda empat yang diparkir di lokasi
itu.
Sepatu
yang dipegangnya telah selesai disemir, mengkilat. Kemudian dia menyandarkan
tubuh mungilnya pada sebatang tiang beton ruang tunggu gedung bandara. Wajahnya
memudar ditambah dengan pakaian lusuh terkesan kumal yang dikenakannya.
Entah
apa yang difikirkan tukang semir keliling ini waktu itu, yang jelas dengan
sebuah kantung plastik yang berisi peralatan menyemir di tangan, dia masih
menunggu pemilik sepatu melemparkan dua lembar uang seribu sebagai upah dari
jasa semirnya.
Namun
nasibnya saat itu lagi mujur, dia menerima tiga lembar uang ribuan yang sedikit lebih besar dari tarif harga yang
dipatok. Seuntai kata lirih berhias senyum kecut. Terucap kata terimakasih
banyak sembari berlalu mencari para tuan yang berminat mamakai jasanya sambil berharap
mendapatkan imbalan lebih tuk bisa jadi
tentara ***