Senin, 01 Oktober 2012

Arsip Berita Harian






  KET : Tulisan ini telah terbit di Harian Radar Tanjab
    Juli 2008 / Rubrik Berita Bok / Halaman 1
    ====================================




Perjuangan Tukang Semir Menggapai Impian

Seorang anak SD setiap hari sepulang sekolah mencari uang dengan menyemir sepatu di bandara. Uangnya untuk belanja keluarga, sebagian disimpan untuk beli semir dan biaya sekolah. Cita –cita sang bocah ingin menjadi tentara. Berikut Catatan Radar Tanjab.  

RIZAL EPENDI – KOTA JAMBI

Deru suara pesawat terbang milik Maskapai Penerbangan Lion Air yang akan mendarat semakin menambah kebisingan suasana di Kawasan Bandar Udara (Bandara) Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi pagi itu. Pepohonan di sekitar lapangan beraspal hitam,  terhuyung diterpa angin kencang mesin  pesawat terbang. Rumput, ilalang bergoyang, debu-debu dan sampah plastik berterbangan.

Seorang petugas berpakaian seragam bandara bergegas menuju lapangan pacu untuk memberikan aba – aba dengan bahasa isarat kepada coppilot  serta menentukan posisi parkir pesawat. Secara bersamaan dua buah mobil penggandeng tangga mendekat ke pintu pesawat. Pintu terbuka  dan seluruh penumpang dari Jakarta  bergegas turun.

Sementara di ruang tunggu para penumpang yang akan berangkat ke Jakarta bersiap-siap dan berjalan perlahan menaiki tangga pesawat. Setalah semua perhelatan siap, pesawat-pun terbang kembali ke Jakarta. Itulah sekelumit aktivitas di Bandara Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi  setiap hari.

Namun dibalik kesibukan aktivitas di kawasan bandara itu, terselubung sepenggal kisah nyata tentang kehidupan seorang anak manusia yang memiliki harapan untuk merajut masa depan dalam kondisi ketiadaan. Dia bekerja keras tanpa lelah,  gengsi apalagi. Dia menyandarkan harapan dan cita melalui belas asih para dermawan butuh jasanya.

Sedihnya, kisah ini dilakoni oleh seorang siswa SD yang belum cukup umur. Bagi sebagian masyarakat Jambi, aktivitas dan kisah terselubung di Bandara tersebut dijadikan tempat berwisata. Datang dan pergi  sebuah pesawat terbang merupakan objek tontonan yang bisa memberikan hiburan tersendiri. Ditambah lagi dengan nyanyian dan tarian anak jalanan, gelandangan dan pengemis  semakin membuat Kota Beradat laksana Metropolitan.

Namun tidak demikian bagi Muhammad Regi, 10 tahun, siswa kelas IV SD Negeri No 173 Kota Jambi ini. Bocah cilik  yang berprofesi sebagai tukang semir sepatu di seputaran kawasan Bandara tersebut sudah terbiasa dengan deru suara pesawat dan kesibukan aktivitas di sana.  Dia malah berfikir jernih (terlepas dari kondisi yang memaksa) dengan memanfaatkan keramaian di sana sebagai ajang untuk mengais rejeki.

Mengenai sepenggal kisah terselubung tadi Muhammad Regi tahu persis dari awal sampai akhir ceritanya. Bahkan dia sangat peduli karena dirinya dalam cerita “dongeng anak jalanan penghantar tidur” itu berlakon sebagai pemeran utama sekaligus produser. Bahkan dia pulalah yang menuliskan naskah cerita getir tersebut di atas selembar garis nasib  dengan tinta warna merah dalam hidupnya.

Sembari melakoni kisah itu bocah yang tinggal di Lorong Kuburan, Kelurahan Puncak, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi ini menawarkan “dagangannya”. Memang bukan barang antik atau suvenir yang ditawarkan  kepada para penumpang pesawat. Tapi tak lebih dari sebuah jasa semir sepatu yang dirinya hanya memungut upah capek sebesar dua ribu rupiah  per pasang sepatu kulit.

Anak ke empat dari lima bersaudara pasangan Amri dan Ela ini mengaku baru lima bulan menjajakan jasa semir sepatunya di kawasan bandara tersebut. Pekerjaan itu dilakoninya sepulang sekolah yakni pada pukul 13.00 hingga 16.00 WIB. Sebelum di bandara dia pernah menyemir di Kelurahan Simpang Kawat dan kawasan Pasar Rawasari.

Dalam setiap hari bocah berperawakan kurus ini dapat mengantongi rupiah 10 hingga 20 ribu. Setelah pulang ke rumah uang tersebut sebagian diberikan kepada ibunya untuk menambah uang belanja, sebagian lagi ditabung untuk modal beli semir dan biaya sekolah. Sedangkan ayahnya hanya bekerja sebagai kuli bangunan untuk menghidupi kelima anaknya.

Ketiga kakak  tukang semir sepatu ini, Muhammad Rizal, Rina dan Yuyun belum bekerja, walapun ada hanya pekerjaan serabutan yang hasilnya tak seberapa. Sedangkan si bungsu,  Risa masih kecil dan belum sekolah. Untung saja Regi sekeluarga  tidak lagi menempati rumah kontrakan, walaupun kondisi tempat tinggalnya saat ini sangat sederhana.

Menjadi Tentara

Sembari menggosokan sikat semir pada sepasang sepatu kulit pelanggannya,  Regi banyak bercerita tentang kehidupan yang dijalaninya. Dia punya rencana setelah lulus SD, akan melanjutkan sekolah sampai mendapat ijazah  SMA. Setelah itu dia akan mengikuti tes penerimaan siswa calon bintara TNI.

Regi memang punya cita-cita ingin menjadi tentara, bahkan cita-cita itu telah dia tanamkan dalam hati sejak dibangku SD.  Dia mengaku berminat menjadi tentara  karena tentara dapat melindungi negara dari berbagai ancaman. Selain itu memang kalau salah satu anggota keluarga ada yang jadi tentara, menurutnya dihormati dan disegani masyarakat.

Tapi dia takut kalau cita-citanya kandas, karena untuk melanjutkan sekolah saja orang tuanya tidak punya cukup uang, apalagi sampai mengikuti tes bintara.  Setelah bicara seperti itu dia menerawang sejenak, kemudian  melepaskan pandangannya ke arah sederetan kendaraan roda empat yang diparkir di lokasi itu.

Sepatu yang dipegangnya telah selesai disemir, mengkilat. Kemudian dia menyandarkan tubuh mungilnya pada sebatang tiang beton ruang tunggu gedung bandara. Wajahnya memudar ditambah dengan pakaian lusuh terkesan kumal yang dikenakannya.

Entah apa yang difikirkan tukang semir keliling ini waktu itu, yang jelas dengan sebuah kantung plastik yang berisi peralatan menyemir di tangan, dia masih menunggu pemilik sepatu melemparkan dua lembar uang seribu sebagai upah dari jasa semirnya.

Namun nasibnya saat itu lagi mujur, dia menerima tiga lembar uang ribuan yang  sedikit lebih besar dari tarif harga yang dipatok. Seuntai kata lirih berhias senyum kecut. Terucap kata terimakasih banyak sembari berlalu mencari para tuan yang berminat mamakai jasanya sambil berharap mendapatkan  imbalan lebih tuk bisa jadi tentara  ***