Kamis, 01 November 2012

Rantau Pandan, Riwayatmu Kini


Tulisan ini telah terbit di MAJALAH LENSA 
Tanggal 10 April 2008
===============================

MAJALAH LENSA - Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem hayati yang disebabkan oleh bekas pernambangan batubara di Desa Leban, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo sudah teramat parah. Lubang-lubang bekas galian yang menyerupai danau buatan sedalam 50 – 200 meter  itu dibiarkan menganga tanpa ditimbun kembali (reklamasi). Sehingga banyak pihak menyayangkan kondisi itu.

Adalah  H. Abdul Halim. Sekretaris Komisi III DPRD Provinsi Jambi ini mengatakan kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara di Kabupaten Bungo sudah sangat parah. Sedangkan pendapatan yang diperoleh tidak seberapa. Dapat disimpulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.

Tidak hanya merusak lingkungan, penambangan batubara itu jiga sudah merusak ekosistem yang ada. Dalam hal ini Kabupaten Bungo harus menjalankan Perda (Peraturan Daerah) tentang  Tata Ruang Wilayah (TTRW) yang bisa mengatur lokasi-lokasi tambang dan juga harus bekerja sama dengan pihak Bapedalda. “ Diharapkan, pihak Bapedalda kabupaten dan provinsi  terus berkoordinasi dan jangan saling melempar kesalahan,” ujarnya.

Menurut Halim, dari kaca mata legislatif sejak otonomi daerah pemerintah kabupaten kurang melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi dalam proses penambangan batubara. Bahkan pihak Bapedalda dan Dinas Pertambangan sendiri ketika ditanya, kata Halim,  malah kurang memahami kondisi di lapangan. Walaupun secara kasat mata DPRD sudah mengetahui kerusakan yang terjadi.

Maka dari itu dirinya mengharapkan ketegasan pihak terkait untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang telah melanggar aturan dalam proses penambangan batubara yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Sedangkan masyarakat sendiri berhak memberikan koreksi terhadap para penambang yang menyimpang dari aturan yang ada.

Kemudian komisi III sendiri belum perna turun ke lokasi walaupun sebenarnya Halim mengaku perna mendapatkan laporan dari masyarakat terkait permasalahan tersebut. Trus, dirinya perna juga mendapat informasi dari Bupati Batanghari Syahirsyah tentang penambangan batubara di Simpang Kremeo. Ketika itu kepada Halim bupati mengatakan batubara itu dipergunakan untuk memasok kebutuhan bahan bakar PT Wira Karya Sakti (WKS).

Ketika itu anggota dewan ini sempat menanyakan jumlah kontribusi untuk daerah dari hasil penambangan batubara itu. Namun jawaban bupati lain, Bupati Batanghari malah mengeluhkan masalah kualitas hasil tambang. Dalam artian Bupati Batanghari mengatakan hasil tambang berkualitas jelek dan penambangan tidak berhasil. Serta merta Halim menjawab kalau tidak berhasil jangan dilakukan penambangan lagi.

Wakil rakyat ini membenarkan adanya dana yang disediakan oleh pihak perusahaan untuk mereklamasi lubang bekas galian, namun dirinya mempertanyakan mengapa hingga saat ini proses reklamasi itu belum dilakukan. Bertolak dari itu, Komisi III DPRD Provinsi Jambi memanggil Distamben Provinsi Jambi dan selanjutnya turun ke lokasi untuk melihat langsung kondisi di lapangan.

Dikatakan, batubara hasil penambangan di Kabupaten Bungo diangkut ke Padang, Sumatera Barat. Kondisi itu dapat dikatakan para penambang merusak alam namun daerah tidak menikmati hasilnya. Sebab kontribusi untuk daerah dapat dikatakan tidak jelas. Bahkan sarana jalan hancur karena kendaraan angkutan yang melebihi tonase terus melewati jalan itu. “ Nah, hal ini tentu saja diizinkan oleh Dinas Perhubungan, kalau tidak mana bisa lolos” katanya.

Kepala Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Kabid AMDAL) Bapedalda Provinsi Jambi, Ir. Rozali, ketika dikonfrimasi LENSA di ruang kerjanya menjelaskan kalau seperti itu kondisinya, lingkungan bekas penambangan batubara itu sudah termasuk katagori rusak. Namun harus melihat Tata Ruang Wilayah (TTRW) Kabupaten Bungo dulu. 

Kemudian kalau masyarakat menghendaki bekas lubang galian itu dijadikan kolam berarti tidak perlu dilakukan reklamasi. Namun kalau masyarakat menghendaki setelah dilakukan penambangan lubang bekas tambang itu dijadikan perkebunan berarti pihak terkait harus melakukan reklamasi dan reboisasi.

Menurut Rozali, dalam aturannya seperti yang tertuang dalam UU No 23 Tahun 1997 dikatakan pihak perusahaan wajib AMDAL yakni harus mereklamasi lubang bekas galian, kemudian jika wajib Usaha Kelola Lingkungan dan Usaha Pengelolaan Lingkungan (UKL-UPL) maka di dalam dokumen UKL-UPL itu ada janji-jani perusahaan sesuai kesepakatan. Dan pihak perusahaan harus melaksanakan janji-jani itu.

Sejauh ini upaya dari Bapedalda Provinsi Jambi baru sebatas melihat janji-janji dan kalau ternyata pihak perusahaan melanggar janji seperti yang tertuang dalam dokumen AMDAL  maka dapat dikatakan pihak perusahaan telah melanggar hukum. Namun sayangnya pihak Bapedalda sendiri mengaku belum perna melihat dokumen AMDAL yang berisi janji-janji dimaksud.

Sementara Forest Management Expert Firlandia or Asisten Tim Leader Forest Law Enforcement Governance And Trade (Flegty) Jambi, Juha mengaku sulit mengomentari kondisi bekas penambangan batubara di Kabupaten Bungo. Karena dirinya tidak mengetahui lokasi, pelaku dan sejauh mana kerusakan itu.

Namun menurutnya kalau lingkungan hidup yang rusak jelas ada kaitannya dengan Global Warming (pemanasan global). Bahkan hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global karena vegetasi-vegetasi tidak ada lagi pada lokasi tersebut. Sedangkan vegetasi-vegetasi itu berfungsi menangkap siklus air sehingga air tidak menyebar ke mana-mana.


Jadi  kata Juha, untuk mengatasi hal itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan seperti mengetahui pihak perusahaan itu memiliki izin atau tidak, kemudian harus melakukan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan perizinan. Atau melakukan reboisasi untuk mengembalikan vegetasi tadi.

Kemudian kalau hal itu dibiarkan maka tanah tidak dapat dimanfaatkan. Sedangkan faktor yang paling mendasar sebagai penyebab pemanasan global adalah manusia yang sering merusak lingkungan. Seperti menggundulkan hutan tanpa melakukan penanaman kembali (reboisasi) serta faktor dari alam seperti menipisnya lapisan ozon yang disebabkan oleh polusi dan efek rumah kaca.

Dia menduga penggundulan hutan yang disebabkan oleh praktik illegal loging akan dilakukan sampai hutan itu habis. Sedangkan keberadaan Plagty sendiri hanya dapat bekerja sebatas meminimalisir praktik tersebut. “ Siapa yang bisa memberantas itu, ya kami hanya mengharap agar praktik itu berkurang,” ujarnya.

Sedangkan untuk memberantas praktik illegal logging hingga betul-betul tuntas menurut Juha, tidak ada yang mampu sepanjang penegakan hukum di Indonesia masih seperti yang terjadi sekarang ini.  Disamping itu ada banyak pihak yang terkait dengan permasalahan yang satu ini dan masing-masing pihak  mempunyai kepentingan. (Rizal Ependi).












 




Kelenteng Perjuangan Melawan Belanda



 




Tulisan ini telah terbit di Harian MEDIATOR JAMBI
Halaman 4  Tanggal 23 Februari 2006
====================================



JAMBI, MEDIATOR - Kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama dan tertua di Provinsi Jambi yang memiliki andil besar dalam perjuangan rakyat Jambi melawan penjajah Belanda. Ketika itu kelenteng hok tek bahkan pernah dijadikan gudang mesiu dan tempat menyimpan senjata.

Dari sekian banyak kelenteng yang terdapat di kota Jambi, kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama dan tertua. Kini umur Hok Tek sudah lebih dari  200 tahun. Karena tidak dipakai lagi sebagai tempat ritual keagamaan oleh penganut Kong Hu Chu, maka oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, bangunan tua itu kini telah dilestarikan dan dijadikan salah satu  situs peninggalan sejarah.

Hasil investigasi dan rangkuman informasi yang didapat Mediator di lapangan, selain memiliki nilai sejarah,  Hok Tek juga berperan besar  disaat rakyat Jambi berjuang mengusir Serdadu Belanda pada tahun 1942. Ketika itu Hok Tek sempat dijadikan gudang mesiu dan persenjataan saat Agresi Militer Belanda II.

Menurut Apong (50), Hok Tek kini telah di mesiumkan. Acara ritual telah berpindah ke kelenteng Hok Tek yang baru di Jalan Kirana  RT 10, RW 13, Kelurahan Sungai Asam, Kecamatan Pasar, kota Jambi,  sekitar 2 kilo meter dari lokasi kelenteng lama yang berada di Jalan MH Thamrin, RT 14, Kelurahan Beringin juga dalam Kecamatan Pasar kota Jambi. “Saat ini lebih dari 20 kelenteng sudah terdapat di kota Jambi,” ujarnya.

Menurut warga yang bermukim di sekitar kelenteng,  dulu setiap menjelang Tahun Imlek, kerap kali warga melihat sekelompok masyarakat keturunan Tiong Hoa mengunjungi bangunan berukuran 8.82 meter persegi itu. Masyarakat Tiong Hoa tadi sengaja meluangkan waktu untuk melakukan acara ritual keagamaan. “Tapi kini sudah tak pernah lagi, karena ritual itu telah pindah, “ ujar warga tadi.

Apong melanjutkan, pemindahan acara ritual keagamaan itu bukan karena ada kecemburuan sosial dari warga sekitar. Namun hal itu disebabkan kapasitas Hok Tek yang lama sudah tak memungkinkan lagi untuk menampung jemaat yang setiap tahun kian bertambah. Faktor lain adanya pelebararan jalan kota yang membuat pekarangan kelenteng menjadi semakin sempit.

Melihat kondisi demikian, atas kesepakatan para pengurus kelenteng yang tergabung dalam Yayasan Tri Darma bersama Pemprov Jambi, maka pada tanggal 4 Februari 1982, seluruh yang berkaitan dengan acara ritual pemeluk Kong Hu Chu, dipindahkan ke lokasi baru yang tentunya telah dipersiapkan terlebih dulu.  Bagaimana proses  pe-mesium-an Hok Tek yang lama ?

Berdasarkan data di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (KSPSP) Jambi, ketika kelenteng itu  tak digunakan lagi, awalnya Pemprov berniat memugarnya. Namun setelah melihat sejarah yang terkandung pada bangunan tua di tepi Sungai Maram tersebut,  serta mengetahui nilai sejarah yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menelusuri sejarah lahirnya kota Jambi,  niat pemugaran-pun diurungkan.

Kemudian Pemprov bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) kini Diknas, mulai tanggal 4 Februari 1984 menjadikan kelenteng itu sebagai menumen sejarah atau salah satu situs peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan. Hal itu sesuai dengan instruksi kerja sama Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dedikbud No.8/M/1972, tentang pengamanan benda bersejarah yang mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) RI No.183 Tahun 1968, Jo. No. 64 Tahun 1971 dan No.17/M Tahun1968.

Sejarah
Menurut Aseng (45), adik kandung Apong sang pengurus kelenteng, Hok Tek dibangun oleh masyarakat asal China Selatan, etnik Hok Kian, suku Thai Chien, sekitar tahun 1803 Masehi.  Nama Hok Tek diambil dari nama salah satu dewa dalam ajaran Theoisme, yang berarti kemakmuran.

Mulanya orang-orang China yang berasal dari satrata sosial (pejabat rendahan) datang ke Jambi sambil membawa dagangan. Kemudian mereka menetap di Jambi lalu membangun pemukiman dan tempat pemujaan di tepi Sungai Maram.   Memang kelenteng selalu dibangun di tepi sungai atau di dekat gunung. Karena menurut kepercayaan Kong Hu Chu, sungai atau gunung dipercaya sebagai sumber kehidupan. “ Itu menurut Kong Hu Chu , “ ujar Aseng ketika itu.

Sedangkan Apong sendiri mengaku yang paling lama mengurus kelenteng Hok Tek adalah ayahnya : Almarhum Peng Lai. Oleh sebab itu dirinya sedikit sekali mengetahui sejarah kelenteng tersebut. Peng Lai mulai mengurus kelenteng dari tahun 1972 hingga 1982. Namun sebelum Peng Lai, kelenteng Hok Tek telah diurus oleh Akuang kakek Apong. Selama kepengurusan Apong kelenteng lama itu sudah 3 kali dilakukan perehaban: rehab atap, tembok, pagar dan warna cat dengan  tidak menghilangkan ciri khas kelenteng. (ref)