Tulisan ini telah terbit di MAJALAH LENSA
Tanggal 10 April 2008
===============================
MAJALAH LENSA
- Kerusakan lingkungan hidup dan ekosistem hayati yang disebabkan oleh bekas pernambangan
batubara di Desa Leban, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo sudah teramat
parah. Lubang-lubang bekas galian yang menyerupai danau buatan sedalam 50 – 200
meter itu dibiarkan menganga tanpa ditimbun
kembali (reklamasi). Sehingga banyak pihak menyayangkan kondisi itu.
Adalah H. Abdul Halim. Sekretaris Komisi III DPRD
Provinsi Jambi ini mengatakan kerusakan lingkungan akibat penambangan batubara
di Kabupaten Bungo sudah sangat parah. Sedangkan pendapatan yang diperoleh
tidak seberapa. Dapat disimpulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diperoleh
tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.
Tidak
hanya merusak lingkungan, penambangan batubara itu jiga sudah merusak ekosistem
yang ada. Dalam hal ini Kabupaten Bungo harus menjalankan Perda (Peraturan
Daerah) tentang Tata Ruang Wilayah
(TTRW) yang bisa mengatur lokasi-lokasi tambang dan juga harus bekerja sama
dengan pihak Bapedalda. “ Diharapkan, pihak Bapedalda kabupaten dan
provinsi terus berkoordinasi dan jangan
saling melempar kesalahan,” ujarnya.
Menurut
Halim, dari kaca mata legislatif sejak otonomi daerah pemerintah kabupaten
kurang melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi dalam proses penambangan
batubara. Bahkan pihak Bapedalda dan Dinas Pertambangan sendiri ketika ditanya,
kata Halim, malah kurang memahami
kondisi di lapangan. Walaupun secara kasat mata DPRD sudah mengetahui kerusakan
yang terjadi.
Maka
dari itu dirinya mengharapkan ketegasan pihak terkait untuk menjatuhkan sanksi
pidana bagi pihak-pihak yang telah melanggar aturan dalam proses penambangan
batubara yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Sedangkan
masyarakat sendiri berhak memberikan koreksi terhadap para penambang yang
menyimpang dari aturan yang ada.
Kemudian
komisi III sendiri belum perna turun ke lokasi walaupun sebenarnya Halim
mengaku perna mendapatkan laporan dari masyarakat terkait permasalahan
tersebut. Trus, dirinya perna juga mendapat informasi dari Bupati Batanghari
Syahirsyah tentang penambangan batubara di Simpang Kremeo. Ketika itu kepada
Halim bupati mengatakan batubara itu dipergunakan untuk memasok kebutuhan bahan
bakar PT Wira Karya Sakti (WKS).
Ketika
itu anggota dewan ini sempat menanyakan jumlah kontribusi untuk daerah dari hasil
penambangan batubara itu. Namun jawaban bupati lain, Bupati Batanghari malah
mengeluhkan masalah kualitas hasil tambang. Dalam artian Bupati Batanghari
mengatakan hasil tambang berkualitas jelek dan penambangan tidak berhasil.
Serta merta Halim menjawab kalau tidak berhasil jangan dilakukan penambangan
lagi.
Wakil
rakyat ini membenarkan adanya dana yang disediakan oleh pihak perusahaan untuk
mereklamasi lubang bekas galian, namun dirinya mempertanyakan mengapa hingga
saat ini proses reklamasi itu belum dilakukan. Bertolak dari itu, Komisi III
DPRD Provinsi Jambi memanggil Distamben Provinsi Jambi dan selanjutnya turun ke
lokasi untuk melihat langsung kondisi di lapangan.
Dikatakan,
batubara hasil penambangan di Kabupaten Bungo diangkut ke Padang, Sumatera Barat. Kondisi itu dapat dikatakan para
penambang merusak alam namun daerah tidak menikmati hasilnya. Sebab kontribusi
untuk daerah dapat dikatakan tidak jelas. Bahkan sarana jalan hancur karena
kendaraan angkutan yang melebihi tonase terus melewati jalan itu. “ Nah, hal
ini tentu saja diizinkan oleh Dinas Perhubungan, kalau tidak mana bisa lolos”
katanya.
Kepala
Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Kabid AMDAL) Bapedalda Provinsi
Jambi, Ir. Rozali, ketika dikonfrimasi LENSA di ruang kerjanya menjelaskan
kalau seperti itu kondisinya, lingkungan bekas penambangan batubara itu sudah
termasuk katagori rusak. Namun harus melihat Tata Ruang Wilayah (TTRW)
Kabupaten Bungo dulu.
Kemudian
kalau masyarakat menghendaki bekas lubang galian itu dijadikan kolam berarti
tidak perlu dilakukan reklamasi. Namun kalau masyarakat menghendaki setelah
dilakukan penambangan lubang bekas tambang itu dijadikan perkebunan berarti
pihak terkait harus melakukan reklamasi dan reboisasi.
Menurut
Rozali, dalam aturannya seperti yang tertuang dalam UU No 23 Tahun 1997
dikatakan pihak perusahaan wajib AMDAL yakni harus mereklamasi lubang bekas
galian, kemudian jika wajib Usaha Kelola Lingkungan dan Usaha Pengelolaan
Lingkungan (UKL-UPL) maka di dalam dokumen UKL-UPL itu ada janji-jani
perusahaan sesuai kesepakatan. Dan pihak perusahaan harus melaksanakan
janji-jani itu.
Sejauh
ini upaya dari Bapedalda Provinsi Jambi baru sebatas melihat janji-janji dan
kalau ternyata pihak perusahaan melanggar janji seperti yang tertuang dalam
dokumen AMDAL maka dapat dikatakan pihak
perusahaan telah melanggar hukum. Namun sayangnya pihak Bapedalda sendiri
mengaku belum perna melihat dokumen AMDAL yang berisi janji-janji dimaksud.
Sementara
Forest Management Expert Firlandia or Asisten Tim Leader Forest Law Enforcement
Governance And Trade (Flegty) Jambi, Juha mengaku sulit mengomentari kondisi
bekas penambangan batubara di Kabupaten Bungo. Karena dirinya tidak mengetahui
lokasi, pelaku dan sejauh mana kerusakan itu.
Namun
menurutnya kalau lingkungan hidup yang rusak jelas ada kaitannya dengan Global
Warming (pemanasan global). Bahkan hal itu merupakan salah satu penyebab
terjadinya pemanasan global karena vegetasi-vegetasi tidak ada lagi pada lokasi
tersebut. Sedangkan vegetasi-vegetasi itu berfungsi menangkap siklus air sehingga
air tidak menyebar ke mana-mana.
Jadi kata Juha, untuk mengatasi hal itu ada
beberapa hal yang perlu dilakukan seperti mengetahui pihak perusahaan itu
memiliki izin atau tidak, kemudian harus melakukan kegiatan yang dilakukan
sesuai dengan perizinan. Atau melakukan reboisasi untuk mengembalikan vegetasi
tadi.
Kemudian
kalau hal itu dibiarkan maka tanah tidak dapat dimanfaatkan. Sedangkan faktor yang
paling mendasar sebagai penyebab pemanasan global adalah manusia yang sering
merusak lingkungan. Seperti menggundulkan hutan tanpa melakukan penanaman
kembali (reboisasi) serta faktor dari alam seperti menipisnya lapisan ozon yang
disebabkan oleh polusi dan efek rumah kaca.
Dia
menduga penggundulan hutan yang disebabkan oleh praktik illegal loging akan
dilakukan sampai hutan itu habis. Sedangkan keberadaan Plagty sendiri hanya
dapat bekerja sebatas meminimalisir praktik tersebut. “ Siapa yang bisa
memberantas itu, ya kami hanya mengharap agar praktik itu berkurang,” ujarnya.
Sedangkan
untuk memberantas praktik illegal logging hingga betul-betul tuntas menurut
Juha, tidak ada yang mampu sepanjang penegakan hukum di Indonesia masih seperti yang terjadi sekarang ini. Disamping itu ada banyak pihak yang terkait
dengan permasalahan yang satu ini dan masing-masing pihak mempunyai kepentingan. (Rizal Ependi).