Tulisan ini telah terbit di Harian MEDIATOR JAMBI
Halaman 4 Tanggal 23 Februari 2006 ====================================
JAMBI,
MEDIATOR - Kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama dan tertua di Provinsi
Jambi yang memiliki andil besar dalam perjuangan rakyat Jambi melawan penjajah Belanda.
Ketika itu kelenteng hok tek bahkan pernah dijadikan gudang mesiu dan tempat
menyimpan senjata.
Dari
sekian banyak kelenteng yang terdapat di kota Jambi, kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama
dan tertua. Kini umur Hok Tek sudah lebih dari 200 tahun. Karena tidak dipakai lagi sebagai
tempat ritual keagamaan oleh penganut Kong Hu Chu, maka oleh Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Jambi, bangunan tua itu kini telah dilestarikan dan
dijadikan salah satu situs peninggalan
sejarah.
Hasil
investigasi dan rangkuman informasi yang didapat Mediator di lapangan, selain
memiliki nilai sejarah, Hok Tek juga
berperan besar disaat rakyat Jambi berjuang
mengusir Serdadu Belanda pada tahun 1942. Ketika itu Hok Tek sempat dijadikan
gudang mesiu dan persenjataan saat Agresi Militer Belanda II.
Menurut
Apong (50), Hok Tek kini telah di mesiumkan. Acara ritual telah berpindah ke
kelenteng Hok Tek yang baru di Jalan Kirana
RT 10, RW 13, Kelurahan Sungai Asam, Kecamatan Pasar, kota Jambi, sekitar 2 kilo meter dari lokasi kelenteng
lama yang berada di Jalan MH Thamrin, RT 14, Kelurahan Beringin juga dalam
Kecamatan Pasar kota Jambi. “Saat ini lebih dari 20 kelenteng sudah terdapat di
kota Jambi,” ujarnya.
Menurut
warga yang bermukim di sekitar kelenteng,
dulu setiap menjelang Tahun Imlek, kerap kali warga melihat sekelompok
masyarakat keturunan Tiong Hoa mengunjungi bangunan berukuran 8.82 meter
persegi itu. Masyarakat Tiong Hoa tadi sengaja meluangkan waktu untuk melakukan
acara ritual keagamaan. “Tapi kini sudah tak pernah lagi, karena ritual itu
telah pindah, “ ujar warga tadi.
Apong
melanjutkan, pemindahan acara ritual keagamaan itu bukan karena ada kecemburuan
sosial dari warga sekitar. Namun hal itu disebabkan kapasitas Hok Tek yang lama
sudah tak memungkinkan lagi untuk menampung jemaat yang setiap tahun kian bertambah.
Faktor lain adanya pelebararan jalan kota yang membuat pekarangan kelenteng menjadi semakin
sempit.
Melihat
kondisi demikian, atas kesepakatan para pengurus kelenteng yang tergabung dalam
Yayasan Tri Darma bersama Pemprov Jambi, maka pada tanggal 4 Februari 1982,
seluruh yang berkaitan dengan acara ritual pemeluk Kong Hu Chu, dipindahkan ke
lokasi baru yang tentunya telah dipersiapkan terlebih dulu. Bagaimana proses pe-mesium-an Hok Tek yang lama ?
Berdasarkan
data di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (KSPSP) Jambi, ketika
kelenteng itu tak digunakan lagi,
awalnya Pemprov berniat memugarnya. Namun setelah melihat sejarah yang
terkandung pada bangunan tua di tepi Sungai Maram tersebut, serta mengetahui nilai sejarah yang dapat
dijadikan tolok ukur untuk menelusuri sejarah lahirnya kota Jambi, niat
pemugaran-pun diurungkan.
Kemudian
Pemprov bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) kini Diknas, mulai
tanggal 4 Februari 1984 menjadikan kelenteng itu sebagai menumen sejarah atau
salah satu situs peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan. Hal itu sesuai
dengan instruksi kerja sama Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dedikbud
No.8/M/1972, tentang pengamanan benda bersejarah yang mengacu pada Instruksi Presiden
(Inpres) RI No.183 Tahun 1968, Jo. No. 64 Tahun 1971 dan No.17/M Tahun1968.
Sejarah
Menurut
Aseng (45), adik kandung Apong sang pengurus kelenteng, Hok Tek dibangun oleh
masyarakat asal China Selatan, etnik Hok Kian, suku Thai Chien, sekitar tahun
1803 Masehi. Nama Hok Tek diambil dari
nama salah satu dewa dalam ajaran Theoisme, yang berarti kemakmuran.
Mulanya
orang-orang China yang berasal dari satrata sosial (pejabat rendahan)
datang ke Jambi sambil membawa dagangan. Kemudian mereka menetap di Jambi lalu
membangun pemukiman dan tempat pemujaan di tepi Sungai Maram. Memang kelenteng selalu dibangun di tepi sungai
atau di dekat gunung. Karena menurut kepercayaan Kong Hu Chu, sungai atau
gunung dipercaya sebagai sumber kehidupan. “ Itu menurut Kong Hu Chu , “ ujar
Aseng ketika itu.
Sedangkan
Apong sendiri mengaku yang paling lama mengurus kelenteng Hok Tek adalah
ayahnya : Almarhum Peng Lai. Oleh sebab itu dirinya sedikit sekali mengetahui
sejarah kelenteng tersebut. Peng Lai mulai mengurus kelenteng dari tahun 1972
hingga 1982. Namun sebelum Peng Lai, kelenteng Hok Tek telah diurus oleh Akuang
kakek Apong. Selama kepengurusan Apong kelenteng lama itu sudah 3 kali dilakukan
perehaban: rehab atap, tembok, pagar dan warna cat dengan tidak menghilangkan ciri khas kelenteng. (ref)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar