Kamis, 01 November 2012

Kelenteng Perjuangan Melawan Belanda



 




Tulisan ini telah terbit di Harian MEDIATOR JAMBI
Halaman 4  Tanggal 23 Februari 2006
====================================



JAMBI, MEDIATOR - Kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama dan tertua di Provinsi Jambi yang memiliki andil besar dalam perjuangan rakyat Jambi melawan penjajah Belanda. Ketika itu kelenteng hok tek bahkan pernah dijadikan gudang mesiu dan tempat menyimpan senjata.

Dari sekian banyak kelenteng yang terdapat di kota Jambi, kelenteng Hok Tek merupakan kelenteng pertama dan tertua. Kini umur Hok Tek sudah lebih dari  200 tahun. Karena tidak dipakai lagi sebagai tempat ritual keagamaan oleh penganut Kong Hu Chu, maka oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, bangunan tua itu kini telah dilestarikan dan dijadikan salah satu  situs peninggalan sejarah.

Hasil investigasi dan rangkuman informasi yang didapat Mediator di lapangan, selain memiliki nilai sejarah,  Hok Tek juga berperan besar  disaat rakyat Jambi berjuang mengusir Serdadu Belanda pada tahun 1942. Ketika itu Hok Tek sempat dijadikan gudang mesiu dan persenjataan saat Agresi Militer Belanda II.

Menurut Apong (50), Hok Tek kini telah di mesiumkan. Acara ritual telah berpindah ke kelenteng Hok Tek yang baru di Jalan Kirana  RT 10, RW 13, Kelurahan Sungai Asam, Kecamatan Pasar, kota Jambi,  sekitar 2 kilo meter dari lokasi kelenteng lama yang berada di Jalan MH Thamrin, RT 14, Kelurahan Beringin juga dalam Kecamatan Pasar kota Jambi. “Saat ini lebih dari 20 kelenteng sudah terdapat di kota Jambi,” ujarnya.

Menurut warga yang bermukim di sekitar kelenteng,  dulu setiap menjelang Tahun Imlek, kerap kali warga melihat sekelompok masyarakat keturunan Tiong Hoa mengunjungi bangunan berukuran 8.82 meter persegi itu. Masyarakat Tiong Hoa tadi sengaja meluangkan waktu untuk melakukan acara ritual keagamaan. “Tapi kini sudah tak pernah lagi, karena ritual itu telah pindah, “ ujar warga tadi.

Apong melanjutkan, pemindahan acara ritual keagamaan itu bukan karena ada kecemburuan sosial dari warga sekitar. Namun hal itu disebabkan kapasitas Hok Tek yang lama sudah tak memungkinkan lagi untuk menampung jemaat yang setiap tahun kian bertambah. Faktor lain adanya pelebararan jalan kota yang membuat pekarangan kelenteng menjadi semakin sempit.

Melihat kondisi demikian, atas kesepakatan para pengurus kelenteng yang tergabung dalam Yayasan Tri Darma bersama Pemprov Jambi, maka pada tanggal 4 Februari 1982, seluruh yang berkaitan dengan acara ritual pemeluk Kong Hu Chu, dipindahkan ke lokasi baru yang tentunya telah dipersiapkan terlebih dulu.  Bagaimana proses  pe-mesium-an Hok Tek yang lama ?

Berdasarkan data di Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (KSPSP) Jambi, ketika kelenteng itu  tak digunakan lagi, awalnya Pemprov berniat memugarnya. Namun setelah melihat sejarah yang terkandung pada bangunan tua di tepi Sungai Maram tersebut,  serta mengetahui nilai sejarah yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menelusuri sejarah lahirnya kota Jambi,  niat pemugaran-pun diurungkan.

Kemudian Pemprov bersama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) kini Diknas, mulai tanggal 4 Februari 1984 menjadikan kelenteng itu sebagai menumen sejarah atau salah satu situs peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan. Hal itu sesuai dengan instruksi kerja sama Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan Dedikbud No.8/M/1972, tentang pengamanan benda bersejarah yang mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) RI No.183 Tahun 1968, Jo. No. 64 Tahun 1971 dan No.17/M Tahun1968.

Sejarah
Menurut Aseng (45), adik kandung Apong sang pengurus kelenteng, Hok Tek dibangun oleh masyarakat asal China Selatan, etnik Hok Kian, suku Thai Chien, sekitar tahun 1803 Masehi.  Nama Hok Tek diambil dari nama salah satu dewa dalam ajaran Theoisme, yang berarti kemakmuran.

Mulanya orang-orang China yang berasal dari satrata sosial (pejabat rendahan) datang ke Jambi sambil membawa dagangan. Kemudian mereka menetap di Jambi lalu membangun pemukiman dan tempat pemujaan di tepi Sungai Maram.   Memang kelenteng selalu dibangun di tepi sungai atau di dekat gunung. Karena menurut kepercayaan Kong Hu Chu, sungai atau gunung dipercaya sebagai sumber kehidupan. “ Itu menurut Kong Hu Chu , “ ujar Aseng ketika itu.

Sedangkan Apong sendiri mengaku yang paling lama mengurus kelenteng Hok Tek adalah ayahnya : Almarhum Peng Lai. Oleh sebab itu dirinya sedikit sekali mengetahui sejarah kelenteng tersebut. Peng Lai mulai mengurus kelenteng dari tahun 1972 hingga 1982. Namun sebelum Peng Lai, kelenteng Hok Tek telah diurus oleh Akuang kakek Apong. Selama kepengurusan Apong kelenteng lama itu sudah 3 kali dilakukan perehaban: rehab atap, tembok, pagar dan warna cat dengan  tidak menghilangkan ciri khas kelenteng. (ref)

  
  





  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar